URGENSI MEMAHAMI AL-QUR’AN BAGI KONSELOR



URGENSI MEMAHAMI AL-QUR’AN BAGI KONSELOR
Ahmad Fadhil
Kajian Jumat Subuh, Masjid al-Hikmah UIN SMH Banten, 11 April 2025


Salah satu ilmu dalam Ulumul Qur'an adalah Ilmu Tafsir. Al-Qur’an adalah teks yang memiliki makna dan tujuan, dan tafsir adalah usaha menyingkap dan memahami hal tersebut. Tentang urgensi tafsir Al-Qur’an, Shadra menerangkan bahwa Al-Qur’an diturunkan dalam kondisi terbalut oleh ribuan tirai agar mata kita yang lemah laksana pandangan kelelawar dapat memahaminya. Jika ba pada basmalah turun dari Arasy dengan seluruh keagungan yang dimilikinya kepada kita yang lemah laksana kupu-kupu, maka kita akan meleleh dan mencair.

Shadra menguatkan pendapatnya dengan firman Allah Swt.:

لَوْ اَنْزَلْنَا هٰذَا الْقُرْاٰنَ عَلٰى جَبَلٍ لَّرَاَيْتَهٗ خَاشِعًا مُّتَصَدِّعًا مِّنْ خَشْيَةِ اللّٰهِ 

"Sekiranya Kami turunkan Al-Qur’an ini kepada sebuah gunung, pasti kamu akan melihatnya tunduk terpecah-belah disebabkan takut kepada Allah." (QS. Al-Hasyr: 21)

Menurut Shadra, para ahli Irfan sebelum dirinya juga berpandangan demikian. Dia mengutip perkataan yang menurut Najafqali Habibi, editor buku Mafatih al-Ghayb, terdapat di dalam kitab Qut al-Qulub, j. 1, h. 100 karya Abu Thalib Makki:

كل حرف في اللوح المحفوظ أعظم من جبل قاف

Artinya, "Semua huruf di Lauh Mahfuz itu lebih besar daripada Gunung Qaf."

Qaf yang dimaksud adalah yang diisyaratkan oleh firman Allah SWT:

قٓ وَا لْقُرْاٰ نِ الْمَجِيْدِ 

"Qaaf. Demi Al-Qur’an yang mulia." (QS. Qaf: 1)

Shadra menerangkan bahwa Al-Qur’an pada hakikatnya satu, tapi ia memiliki banyak hirarki ketika turun, dan berdasarkan hirarki inilah namanya menjadi berbeda-beda. Pada satu alam dia disebut al-Majid, pada alam lain ia disebut al-'Aziz, dan pada alam yang lain lagi ia disebut 'Aliyy Hakim, Karim, dan Hakim. Al-Qur’an memiliki sejuta nama yang tidak dapat didengar oleh telinga yang ada di kepala kita. Tapi, orang-orang yang memiliki pendengaran batiniah, mereka dapat mendengar nama-nama tersebut dan melihat fase-fasenya.

Perbedaan bentuk, sifat, dan kondisi dari suatu mawjud adalah tanda yang agung untuk mengetahui makna yang terkandung di dalam Al-Qur’an serta cahaya keindahan dan pijar-pijat ayat-ayatnya, serta untuk mengenali nama-nama dan sifat-sifat Allah. Allah berfirman:

وَلِلّٰهِ الْاَسْمَآءُ الْحُسْنٰى فَادْعُوْهُ بِهَا ۖ وَذَرُوا الَّذِيْنَ يُلْحِدُوْنَ فِيْۤ اَسْمَآئِهٖ

"Dan Allah memiliki Asmaul Husna (nama-nama yang terbaik), maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut Asmaul Husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyalahartikan nama-nama-Nya." (QS. Al-A'raf: 180)

Ayat ini, menurut Shadra memerintahkan kita untuk mempelajari ilmu hikmah dan ilmu tauhid, menggali rahasia alam semesta dan jiwa, dan Ilmu Asma.

Hal ini juga diperintahkan oleh ayat yang lain:

اِنَّ فِيْ خَلْقِ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِ وَاخْتِلَافِ الَّيْلِ وَالنَّهَارِ لَاٰيٰتٍ لِّاُولِى الْاَلْبَابِ 

"Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan pergantian malam dan siang terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang berakal." (QS. Ali 'Imran: 190)

Alasan Shadra, pengetahuan tersebut telah dirintis oleh para pendahulu kita dari kalangan ahli tasawuf/irfan, dan mereka telah menyatakan bahwa bentuk yang berbeda-beda tersebut adalah bentuk dari Asma Allah yang terbaik, bayangan, ide, dan manifestasi dari gambaran-gambaran yang berasal dari Allah; bahwa segala sesuatu yang ada di dalam ini sesungguhnya ada di alam yang lain, wujud yang ada di alam yang lebih tinggi adalah wujud yang lebih mulia, dan pada akhirnya:

وَمَا عِنْدَ اللّٰهِ خَيْرٌ لِّلْاَ بْرَارِ

"Dan apa yang di sisi Allah lebih baik bagi orang-orang yang berbakti." (QS. Ali 'Imran: 198)


Al-Qur’an sebagai obat jiwa

Umat Islam sudah membaca Al-Qur’an, tapi masih menderita jiwa dan raganya karena kebodohan, kejahatan, dan kemiskinan? Apa sebabnya? 

Mulla Shadra di dalam Mafatih al-Ghayb (Kunci-Kunci Kegaiban) menjawab pertanyaan ini. Mula-mula, Shadra mengutip ayat Al-Qur’an:

لَوْ اَنْزَلْنَا هٰذَا الْقُرْاٰ نَ عَلٰى جَبَلٍ لَّرَاَ يْتَهٗ خَا شِعًا مُّتَصَدِّعًا مِّنْ خَشْيَةِ اللّٰهِ ۗ وَتِلْكَ الْاَ مْثَا لُ نَضْرِبُهَا لِلنَّا سِ لَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُوْنَ

"Sekiranya Kami turunkan Al-Qur’an ini kepada sebuah gunung, pasti kamu akan melihatnya tunduk terpecah-belah disebabkan takut kepada Allah. Dan perumpamaan-perumpamaan itu Kami buat untuk manusia agar mereka berpikir." (QS. Al-Hasyr: 21)

Lalu, Shadra mengutip hadis Nabi Saw:

القرآن غنى لا فقر بعده ولا غنى دونه

Artinya, "Al-Qur’an adalah kekayaan yang tiada kemiskinan setelahnya dan tiada kekayaan tanpanya." (Al-Kafi, j. 2, h. 605)

Menurut Najafqali Habibi, hadis ini semakna dengan yang diriwayatkan oleh al-Thabarani di dalam al-Mu'jam al-Kabir, j. 1, h. 255, hn. 738:

من قرأ القرآن فهو غنى ولا فقر بعده وإلا ما به غنى

Artinya, "Orang yang membaca Al-Qur’an, maka dia adalah orang yang kaya tanpa kemiskinan setelahnya. Jika tidak begitu, maka tiada kekayaan apa pun pada dirinya."

Mulla Shadra, filsuf terbesar dalam sejarah Islam hingga sekarang, menjelaskan bahwa Al-Qur’an yang kita baca ini adalah obat yang berada di dalam bungkusan. Jika bungkusan atau tirai yang menutupi wajah Al-Qur’an itu disingkap, maka ia akan menyembuhkan semua pengidap penyakit kebodohan, menyegarkan semua orang yang haus kebenaran, dan mengobati semua orang yang terkena penyakit akhlak tercela yang sudah menahun serta kepandiran yang membinasakan. Sebab, Nabi Muhammad Saw sudah menegaskan bahwa "Al-Qur’an adalah obat."

Penyakit yang membelenggu manusia adalah keterikatannya oleh rantai dosa yang berat yang terbuat dari kecintaan kepada pasangan hidup, anak, kampung halaman, harta, serta syahwat seksual, makanan, kerakusan, dan lamunan yang panjang.

Al-Qur’an turun dari Allah untuk mengobati semua penyakit, namun ia turun dalam kondisi terbungkus oleh tirai. Apa sih tirai yang menutupinya? Shadra menjawab, Tirai huruf dan suara serta jubah kata dan kalimat. 

Shadra mengatakan bahwa turunnya Al-Qur’an dalam kondisi ini merupakan rahmat dan belas kasihan Allah agar Al-Qur’an lebih dekat dan lebih mudah dipahami oleh manusia. Sebab, kalau tidak demikian, kalau Al-Qur’an turun tanpa bungkus dan jubah tersebut, maka bagaimana manusia yang tercipta dari debu dapat berhubungan dengan Allah Sang Pencipta debu.

Kalimat, kata-kata, bahkan huruf-huruf Al-Qur’an mengandung makna yang sangat dalam. Laksana lautan, hanya Nabi Muhammad Saw yang dapat menyelam ke palungnya yang paling dalam, sedangkan orang-orang lain akan memahaminya sesuai dengan anugerah yang sudah menjadi jatahnya. Ada orang yang mampu menyelaminya puluhan meter, beberapa meter saja, dan ada juga yang hanya sekadar membasahi kakinya di tepian pantai.

Shadra mengilustrasikan huruf-huruf Al-Qur’an itu sebagai jaring dan biji-bijian yang ditebarkan untuk memikat burung-burung agar terbang ke langit. Tujuan dibentangkannya jaring itu adalah untuk memikat sejenis burung tertentu dengan umpan yang khusus. Maksudnya, semua jenis rezeki ada di dalam Al-Qur’an, tapi rezeki jenis tertinggi hanya dapat diraih oleh orang yang sangat spesial.

Shadra menguatkan pandanganya dengan ayat Al-Qur’an:

 وَلَا رَطْبٍ وَّلَا يَا بِسٍ اِلَّا فِيْ كِتٰبٍ مُّبِيْنٍ

"Dan tidak pula sesuatu yang basah atau yang kering, yang tidak tertulis dalam Kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh)." (QS. Al-An'am: 59)

Menurut Shadra, sebagaimana di dalam Al-Qur’an terdapat hakikat-hakikat kebijaksanaan yang menjadi makanan bagi jiwa dan nutrisi bagi kalbu, Al-Qur’an juga memuat pengetahuan-pengetahuan parsial dan obat-obatan formatif berupa kisah-kisah dan hukum-hukum yang dapat dipetik manfaatnya oleh manusia dari kalangan menengah dan awam.

Semua anugerah dan karunia ada di dalam Al-Qur’an karena Al-Qur’an mengandung ajaran yang membawa kepada kesejahteraan di akhirat, juga kesejahteraan di dunia ini seperti ajaran tentang qishash, diyat, nikah, dan waris. Al-Qur’an berisi zat gizi yang bersifat spiritual, juga asupan bagi jasad fisik. Semua ini disediakan Allah sebagai "makanan bagi kalian dan bagi binatang peliharaan kalian (QS. al-Nazi'at: 33)". Jadi, semua urusan ada penjelasan dan uraiannya di dalam Al-Qur’an.

Tapi, apakah semua orang dapat menikmati suguhan tersebut? Pendiri Mazhab Filsafat yang dikenal dengan sebutan al-Hikmah al-Muta'aliyah atau Filsafat Transenden ini menegaskan, "Jika di dalam hatimu terbentang jalan ke alam malakut, maka engkau pasti akan mengetahui bahwa Al-Qur’an adalah penjelas bagi segala sesuatu."

Shadra memang bukan sekadar filsuf. Dia adalah seorang ahli gnostisisme atau irfan, atau yang di Indonesia lebih populer dengan sebutan tasawuf. Selain itu, dia juga ahli tafsir dan ahli hadis. Mazhab filsafatnya menyudahi debat epostemologis dengan penjelasan Paripurna tentang wahyu, akal, dan intuisi, kesemuanya adalah sumber pengetahuan yang tidak dapat dipertentangkan satu dengan lainnya.

Menurut Shadra, wacana-wacana Al-Qur’an itu dikhususkan bagi kekasih-kekasih Allah, kaum spiritualis, dan para wali Allah yang mendekatkan diri kepada-Nya. Sapaan Al-Qur’an tidak diarahkan kepada orang-orang yang dijauhkan, menentang, dan memungkiri ayat-ayat Allah yang tidak akan mendapatkan apa pun dari Al-Qur’an kecuali kulit-kulit dari lafaz-lafaznya. 

Sebab, Allah Swt. telah menegaskan:

اِنَّهُمْ عَنِ السَّمْعِ لَمَعْزُوْلُوْنَ 

"Sesungguhnya untuk mendengarkannya pun mereka dijauhkan." (QS. Asy-Syu'ara': 212)

Allah Swt. juga berfirman:

وَلَوْ عَلِمَ اللّٰهُ فِيْهِمْ خَيْرًا لَّاَسْمَعَهُمْ وَلَوْ اَسْمَعَهُمْ لَـتَوَلَّوْا وَّهُمْ مُّعْرِضُوْنَ

"Dan sekiranya Allah mengetahui ada kebaikan pada mereka, tentu Dia jadikan mereka dapat mendengar. Dan jika Allah menjadikan mereka dapat mendengar, niscaya mereka berpaling, sedang mereka memalingkan diri." (QS. Al-Anfal: Ayat 23)

Selanjutnya Shadra menguraikan pernyataannya itu dengan memberikan contoh figur Abu Lahab dan Abu Jahal. Keduanya tidak memahami Al-Qur’an bukan karena mereka tidak mengerti nahwu, sharaf, dan balaghah, juga bukan karena mereka tuli, buta, dan tidak punya kalbu di dalam ruang dada mereka. Mata mereka melihat, telinga mereka mendengar, dan kalbu mereka ada di dada mereka. Meski demikian, mereka tetap dicap "buta, tuli, dan gagu sehingga mereka tidak dapat menggunakan akal mereka (QS. al-Baqarah: 171)", karena:

فَاِ نَّهَا لَا تَعْمَى الْاَ بْصَا رُ وَلٰـكِنْ تَعْمَى الْـقُلُوْبُ الَّتِيْ فِى الصُّدُوْرِ

"Sebenarnya bukan mata itu yang buta, tetapi yang buta ialah hati yang di dalam dada." (QS. Al-Hajj: 46)

Hati orang-orang yang bukan Ahlul Qur'an itu buta sehingga tidak dapat melihat cahaya, akal mereka tuli sehingga tidak dapat mendengar peringatan Allah, dan ruh mereka gagu sehingga tidak dapat memohon kedekatan dengan Sang Kekasih Pertama.

Shadra mengutip hadis Nabi Muhammad Saw yang menurut Najafqali Habibi, penyunting kitab Mafatih al-Ghayb, telah dikutip oleh Syaikh al-Akbar Muhyi al-Din Ibnu 'Arabi di dalam kitab al-Futuhat al-Makkiyyah j. 1, bab 12, halaman 147:

لولا تزييد في حديثكم و تمزيح في قلوبكم لرأيتم ما أرى ولسمعتم ما أسمع.

Artinya, "Kalau bukan karena berlebih-lebihannya kata-kata kalian dan gurau-canda di hati kalian, maka kalian pasti akan melihat apa yang kulihat dan mendengar apa yang kudengar."

Meskipun Abu Jahal dan para penyair Arab pada masa Jahiliah merupakan pakar bahasa Arab, tapi mereka tidak dapat mendengar satu pun huruf Al-Qur’an dan tidak dapat memahami satu pun kosa kata Al-Qur’an. Penyebabnya, mereka tidak memiliki indera batin yang ada di balik indera zahir mereka yang sehat. Hal ini disebabkan oleh jelaga-jelaga yang mengotori hati mereka dan sempit dan gelapnya dada mereka laksana kuburan. Mulla Shadra menegaskan, "Kulit hanya dapat menyentuh kulit, cahaya hanya dapat disentuh cahaya."

Al-Qur’an adalah anugerah Allah Yang Mahakaya, Mahakuasa, dan Mahaluhur bagi manusia yang sangat rendah, lemah, hina, dan penuh kelalaian. Menurut Shadra, Allah mengirim para nabi dan menurunkan kitab-kitab suci sebagai rambu dan Titian dari bumi ke langit.

Shadra menyatakan bahwa hidup manusia yang sesungguhnya adalah hidupnya di akhirat. Tapi, sebelum sampai ke sana, manusia harus melewati dunia. Hubungan antara akhirat dengan dunia ini laksana hubungan buah dengan pohon, makhluk hidup dengan mani, serta tujuan dengan gerakan.

Allah Swt. menciptakan benda-benda langit dan dunia demi manusia. Dia juga menciptakan di dalam diri manusia itu motif fisikal dan spiritual serta dorongan syahwat dan emosi, sebagai alat bagi manusia dalam perjalanannya naik ke negeri asalnya, pulang ke kampung halamannya, dan masuk ke jalan Allah untuk menyaksikan kebesaran-Nya.

Manusia adalah buah dari alam wujud. Segala sesuatu tercipta untuknya dan dia diciptakan untuk Tuhan. 

Allah Swt. berfirman:

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَا لْاِ نْسَ اِلَّا لِيَعْبُدُوْنِ

"Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku." (QS. Al-Dzariyat: 56)

Di dalam riwayat diterangkan:

خلقت العالم لكم وخلقتكم لأجلي

Artinya, "Aku menceritakan alam untuk kalian dan Aku menciptakan kalian untuk-Ku."

Di bagian akhir subbab ini, Shadra mengingatkan lagi bahwa Al-Qur’an adalah tali Allah yang kukuh yang diturunkan dari langit ke bumi untuk keselamatan manusia yang sedang terbelenggu di jurang dunia dan di tempat pembuangan setan. Karena itu, Shadra berpesan, "Iqra' wa irqa'. Bacalah Al-Qur’an dan mendakilah di titian spiritual. Renungilah maknanya dan tercerahkanlah olehnya. Naiklah agar engkau dapat berkumpul dengan Keluarga Thaha dan Keluarga Yasin, yakni Keluarga Nabi Muhammad Saw. Jika tidak, maka engkau akan tenggelam di lautan kegelapan, dibakar di neraka, dipatuk ular, dan disengat kalajengking."


Inspirasi Qur’ani Untuk Bimbingan dan Konseling

Pesan dan ajaran Al-Qur’an dapat dikaji secara tematis dan dikemas dalam perspektif, prinsip, dan kriteria ilmiah yang berlaku di dalam berbagai disiplin ilmu yang berbeda-beda. Karena itu, kita dapat menemukan istilah Konseling Qur’ani, Psikologi Qur’ani, Komunikasi Qur’ani, Pengembangan Masyarakat Qur’ani, dan sebagainya. Sebab, Al-Qur’an dapat diminta berbicara pada semua bidang tersebut dan mempersilakan setiap peneliti untuk menilai argumentasi-argumentasi yang ia sampaikan. Dengan melakukan kajian tematis, seseorang mengeluarkan pesan Al-Qur’an dari sampulnya dan membuatnya dimengerti oleh orang-orang yang berkonsentrasi pada satu bidang tertentu, bahkan boleh jadi pada bidang yang selama ini tidak tersentuh olehnya.

Kajian-kajian yang sudah ada dalam bidang ini sangat banyak. Di antaranya, Khawlah Tawfiq al-Sakani mengkaji makna takut dalam Al-Qur’an dalam tesisnya dalam bidang Balaghah di Universitas al-Islamiyyah Gaza pada tahun 2009 dengan judul "Dawal al-Khawf Wa Madlulatuhu Fi Al-Qur’an al-Karim (Dirasah Uslubiyyah)" https://quran-uni.com/wp-content/uploads/qs/quran-library/pdf/HCRNhs5z.pdf. 

Hana binti Mahfuzh bin Qamaruddin al-Andunusi meneliti tentang prinsip-prinsip pendidikan yang ada di dalam Surah al-Mukminun di dalam tesisnya di Bidang Pendidikan Islam Fakulta Tarbiyayh Universitas Ummul Qura Mekkah pada tahun 1424 H. dengan judul "al-Mabadi' al-Tarbawiyyah al-Mutadhammanah Fi Surah al-Mukminun". Meskipun tesis ini terkait dengan bidang pendidikan, namun pelajar ilmu bimbingan dan konseling tentu dapat memanfaatkannya. https://quran-uni.com/wp-content/uploads/qs/quran-library/pdf/nkL67ysf.pdf.

Sa'id Muhammad Baba Sila menulis tesis yang dibukukan tentang penyebab kehancuran umat-umat terdahulu sebagaimana dikisahkan oleh Al-Qur’an. Buku berjudul Asbab Halak al-Umam al-Salifah Kama Waradat Bi Al-Qur’an ini tentu bermanfaat bagi konselor dalam membimbing kliennya agar terhindar dari kegagalan. https://quran-uni.com/wp-content/uploads/qs/quran-library/pdf/3ay59Ke8.pdf.  

Jumanah Thalal Mahjub meneliti tentang metode Al-Qur’an dalam berinteraksi dengan pelaku dosa. Tesisnya berjudul Asalib Al-Qur’an Fi al-Ta'amul Ma'a al-Mudznib. https://quran-uni.com/wp-content/uploads/qs/quran-library/pdf/iPYp0xo8.pdf.

Yusuf 'Abdullah al-Anshari meneliti tentang metode Al-Qur’an dalam memerintah dan melarang dalam tesis berjudul Asalib al-Amr Wa al-Nahy Wa Asraruha al-Balaghiyyah Fi Al-Qur’an al-Karim. https://quran-uni.com/wp-content/uploads/qs/quran-sciences/qs-books/oKKxHprL.pdf. 

Dalam bidang bimbingan dan konseling, konselor berusaha membantu klien untuk berada pada kondisi yang terbaik untuk dirinya sendiri dan orang-orang di sekitarnya. Salah satu kondisi yang baik yang harus ada pada seseorang adalah kondisi optimis. Kondisi ini dapat ditanamkan konselor dengan pendekatan konseling Qur’ani dengan membangun perpetual optimism (sikap optimis yang abadi) yang ia gali dari pesan-pesan Al-Qur’an pada Surah al-Fatihah. 

Dari empat ayat pertama di dalam Surah al-Fatihah, konselor dapat membimbing klien untuk meyakini bahwa Allah Maha Pengasih dan Maha Penyayang kepada semua makhluk baik di dunia maupun di akhirat. Ayat pertama berpesan bahwa Allah itu Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Ayat kedua, kasih sayang Allah tercurah untuk semua makhluk-Nya di dunia. Ayat ketiga mengulang pesan ayat pertama, Allah itu Maha Pengasih dan Penyayang. Ayat keempat, Allah memperlakukan manusia dengan kasih sayang di akhirat.

Jadi, Surah al-Fatihah membuat seorang muslim memiliki ketenangan dan optimisme yang tinggi karena pengaturan Allah terhadap alam semesta dan hubungan-Nya dengan manusia di dunia dan akhirat berlandaskan pada prinsip kasih sayang (Amru Khalid, Pesona Al-Quran, Jakarta: Sahara Publishers, h. 8).

Selanjutnya, peneliti dapat mengelaborasi hal tersebut. Berikut ini artikel di di X (https://x.com/ibnzadan/status/1886752509294788976_):

Rahmat adalah hakikat agama

Kasih sayang merupakan asas pertama yang dengannya penafsiran agama dimulai dan diakhiri. Pemahaman agama yang melampaui asas ini dan tidak berawal darinya akan terjerumus ke dalam banyak kesalahan terhadap manusia dan kehidupan. Agama pertama-tama diwahyukan kepada manusia, ia diwahyukan kepada dia sebagai belas kasihan, bukan hukuman. Ketika fokusnya adalah pada hukuman Dalam agama, agama kemudian berubah menjadi pola anti-manusia. Manusia tanpa belas kasihan tidak dianggap manusia. Hidup tanpa belas kasihan menjadi neraka. Tanpa belas kasihan, tidak akan ada moralitas .

Apabila penafsiran agama berlandaskan pada asas rahmatan lil alamin, maka tercapailah tujuan agama yang ingin menjadikan kehidupan manusia dalam keadaan sebaik-baiknya. Kita temukan dalam banyak ayat Al-Qur’an yang diakhiri dengan pengingat akan rahmat Allah, bahkan ketika menyebutkan hukuman atau balasan. Kita menemukan bahwa belas kasihan Tuhan meliputi segalanya. Al-Qur’an senantiasa mengingatkan kita akan kasih sayang, jangan sampai kita melupakan prinsip ini, karena tanpa kasih sayang, manusia tidak akan bisa menikmati hidup dan mendapatkan kedamaian.

Berfokus pada hukuman dalam memahami dan menafsirkan agama menciptakan iman yang berdasarkan rasa takut, sementara berfokus pada prinsip belas kasihan menciptakan iman yang berdasarkan cinta. Keimanan yang dilandasi rasa takut menjadikan hubungan manusia dengan Tuhannya menjadi tegang dan membuat orang yang beriman selalu gelisah terhadap agamanya. Bila hubungan antara manusia dan Tuhannya dilandasi rasa takut, maka hubungan itu menjadi tidak tenang. Orang beriman menjalankan agamanya hanya karena takut akan hukuman. Hubungan ini sering kali tidak nyata, bahkan di antara sesama manusia. Bila hubungan seseorang dengan orang lain didasarkan pada rasa takut, hubungan itu menjadi hubungan yang dangkal dan tidak mencapai taraf cinta, dan tidak ada kesetiaan atau pengabdian di dalamnya.

Sedangkan keimanan yang berlandaskan kasih sayang mempererat hubungan antara manusia dengan Tuhannya, menciptakan kepastian yang tetap dalam hati orang yang beriman mengenai agamanya, dan meningkatkan perasaan damai batinnya. Ketika seseorang merasakan kasih sayang Tuhan dalam agamanya, hubungannya dengan Tuhannya menjadi lebih hangat dan lebih meyakinkan, dan dia menjalankan agamanya karena cinta, bukan karena rasa takut. Kasih sayang tentu saja mengarah pada cinta. Setiap hubungan yang dibangun atas dasar kasih sayang akan berujung pada cinta, pengabdian dan kegilaan. Lalu bagaimana dengan hubungan dengan Tuhan, yang merupakan puncak kasih mendalam yang dihayati manusia, dan yang melaluinya manusia memelihara eksistensinya yang tidak sempurna yang membutuhkan kesempurnaan ilahi? Lebih baik beribadah karena rindu akan ampunan Allah, daripada beribadah karena takut akan siksa-Nya. Ibadah pada tingkat rahmat berubah menjadi penyambung kerinduan manusia dengan Tuhannya, sedangkan pada tingkat siksa, ibadahnya kaku dan hampa dari rasa keimanan yang mendalam.

Memberikan rahmat dalam memahami agama merupakan prinsip hakiki dan fundamental dalam pondasi ilmu keimanan, sebagaimana dikemukakan oleh filosof Abdul Jabbar Al-Rifai. Ketika kita menunjukkan rasa kasih sayang dalam memahami setiap ayat Al-Qur’an, kita bergerak menuju cinta dan keyakinan yang menenteramkan kepada Tuhan. Jika kita perhatikan ayat-ayat tentang azab dalam Al-Qur’an, maka kita akan menemukan bahwa Al-Qur’an selalu mengingatkan kita akan rahmat Allah di akhir banyak ayatnya. Pengingat ini adalah bukti pentingnya menjaga belas kasihan tetap hadir dalam memahami agama. Beliau menjadikan rahmat sebagai prinsip pertama dan terakhir dalam memahami ayat-ayat dan menafsirkan Al-Qur’an.

Kasih sayang merupakan salah satu tujuan utama agama. Agama datang untuk jiwa sebelum tubuh, untuk cinta sebelum hukuman, dan untuk kebahagiaan manusia, bukan kesengsaraan. Kita mesti mempertimbangkan kembali pemahaman kita sebelumnya tentang agama, dan menjadikan belas kasih sebagai pilar pertama yang darinya kita melangkah menuju pemahaman yang benar. Upaya para cendekiawan terdahulu mewakili era mereka, yang didasarkan pada budaya hukuman dan kerasnya hidup di bawah peperangan dan kekaisaran. Di era kita saat ini, kita hidup di era hukum, ketertiban, dan ilmu pengetahuan, yang mengharuskan kita untuk mempertimbangkan kembali pemahaman kita sebelumnya tentang agama, untuk bergerak menuju iman yang manusiawi berdasarkan belas kasih dan cinta sejak awal.”

Pelajar Konseling Qurani/Nabawi, perlu membaca buku Mushkilat Nafsiyyah li al-Insan: Bahth Muntaqa min Kulliyyat Rasa'il al-Nur li al-Imam al-Jalil Sa 'id al-Nursi karya Khadijah al-Nabrawi. Buku ini bertajuk hulul qur'aniyyah li mushkilat insaniyyah ini menerangkan bagaimana metode al-Quran dalam:

1. Takut mati.

2. Hidup ini absurd dan nihil.

3. Disharmoni dengan alam.

4. Sedih dan terluka.

5. Rezeki sempit.

6. Galau.

7. Dengki.

8. Cemas.

9. Egois.

10. Negatifistik. 

11. Pesimistik.

12. Senang mengekor.

13. Tergesa-gesa dan tidak sabaran

14. Tidak jujur dan tidak ikhlas

Ringkasnya, buku ini dapat menjadi rujukan tentang metode al-Quran dalam mewujudkan ketenangan jiwa (al-sakinah wa al-itmi’nan).

Lebih daripada itu, konseling Qur’ani dapat menggambarkan figur yang dikehendaki oleh Islam. Al-Qur’an menggambarkan figur manusia yang paling ideal adalah para nabi dan seluruh manusia dituntut untuk meneladani mereka. Fenomena kenabian sudah dikenal umat manusia sejak awal sejarah. Sebab, manusia pertama adalah nabi pertama. Lalu, kenabian itu pun berseri hingga mencapai 124.000 menurut riwayat yang masyhur. Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa Nabi saw bersabda, "Allah menciptakan 124.000 nabi dan aku adalah yang paling mulia di antara mereka di hadapan Allah." Ada riwayat lain di dalam Bihar al-Anwar yang menerangkan bahwa jumlah nabi adalah 8.000, 320.000, atau 140.000. (Muthahhari, h. 5)

Al-Quran menyebut nama 26 orang nabi, yaitu: Adam, Nuh, Idris, Hud, Salih, Ibrahim, Lut, Ismail, Ilyasa', Dhu al-Kifl, Ilyas, Yunus, Ishaq, Ya'qub, Yusuf, Shu'aib, Musa, Harun, Dawud, Sulayman, Ayyub, Zakariya, Yahya, Ismail, Isa, Muhammad. Ada juga nabi yang disebut al-Quran sifatnya saja (al-Baqarah: 246). Nabi-nabi yang paling diperhatikan al-Quran adalah yang diberinya sebutan Ulu al-'Azm (al-Ahqaf: 35). Peta geografis pengutusan nabi menunjukkan keberadaan mayoritas mereka di segitiga Palestina, Sham, Mesir, Hijaz, dan Irak, tapi teks al-Quran sendiri (Fatir: 24, Yunus: 47, al-Isra': 15, al-Nisa': 165), selain filsafat kenabian, menyatakan tidak adanya umat tanpa rasul.

Kenabian memang diiringi oleh sejumlah hal seperti wahyu, mukjizat, dan kemaksuman yang menjadi keistimewaan para nabi. Tapi, menurut al-Thabathaba'i, secara fungsional kenabian adalah, "Kondisi ilahiyah yang dengannya seorang manusia mampu mencerap pengetahuan yang dapat menghilangkan perbedaan pendapat dan pertentangan dalam kehidupan umat manusia." Definisi ini berbasis pada dua hal. Pertama, manusia secara fitrah bergerak ke arah perbedaan karena watak eksploitatif (qarihah al-istikhdam) pada diri mereka yang mendorong mereka untuk mengeksploitasi apa saja yang dapat dieksploitasi demi kesempurnaan diri mereka. Kedua, manusia adalah makhluk sosial.

Unsur-unsur kenabian menurut al-Quran ada lima, yaitu: 1) Ibadah kepada Allah dan menentang tiran (al-Nahl: 36). 2) Menegakkan keadilan (al-Hadid: 25). 3) Beralih dari kegelapan menuju cahaya (Ibrahim: 5, 1). 4) Risalah ilmu. 5) Risalah kebebasan. 6) Membangkitkan energi manusia dengan keyakinan pada hari akhir.

Seorang ateis berkata kepada Imam al-Sadiq, "Bagaimana engkau membuktikan keberadaan para nabi dan rasul?" 

Imam al-Sadiq berkata, "Setelah kami membuktikan bahwa kami memiliki Pencipta Yang Maha Berbeda dengan kami dan dengan semua ciptaan-Nya, bahwa Sang Pencipta itu Mahabijaksana, tidak dapat disaksikan oleh ciptaan-Nya, tidak dapat mereka sentuh, tidak bersatu dengan mereka dan mereka tidak bersatu dengan-Nya, tidak berbicara dengan mereka dan mereka tidak berbicara dengan-Nya, maka terbuktilah bahwa Dia memiliki duta-duta di tengah makhluk-Nya yang menunjukkan mereka kepada maslahat, kebaikan, dan hal-hal yang padanya terdapat keselamatan mereka, yang jika diabaikan akan menyebabkan kebinasaan mereka; maka terbuktilah adanya orang-orang yang menyuruh dan melarang yang diutus oleh Sang Mahabijaksana dan Mahatahu di tengah-tengah hamba-Nya; terbuktilah juga pada saat itu bahwa Dia memiliki juru bicara, yaitu para nabi dan orang-orang pilihan-Nya dari kalangan hamba-hamba-Nya, orang-orang yang bijaksana, yang mendidik dan diutus dengan kebijaksanaan, yang kondisinya tidak sama dengan orang lain, meskipun penciptaan dan susunan badan mereka sama dengan orang lain, yang dikuatkan oleh Sang Mahabijasana dan Mahatahu dengan hikmah, dalil-dalil, bukti-bukti, dan saksi-saksi, seperti menghidupkan orang yang sudah mati, menyembuhkan penyakit akmah dan kusta, sehingga bumi Allah tidak pernah kosong dari seorang hujjah yang memiliki ilmu yang menunjukkan kebenaran ucapan seorang rasul dan keniscayaan keadilannya." h. 23.

Hadirnya figur umat Islam yang meneladani para nabi tersebut adalah gerbang bagi kemajuan dan kesejahteraan umat manusia secara umum. Kaum muslimin pernah kehilangan sendi-sendi kekuatannya sehingga mereka mudah diporakporandakan musuh. Bukankah angin sekencang apa pun tidak dapat memindahkan gunung, tapi hanya memindahkan tumpukan pasir? Syekh al-Ghazali, seorang ulama Mesir mengatakan bahwa bahwa SDM kaum muslimin yang ada di negara-negara berkembang alias terbelakang sebenarnya sama baiknya dengan SDM yang dimiliki negara-negara maju. Bedanya, negara maju pandai memanfaatkan SDM yang mereka miliki, memberi mereka kesempatan untuk berkembang, dan kebebasan yang tersedia di sana berfungsi seperti matahari dan air yang mematangkan tanaman, sedangkan di negeri-negeri Islam, para penguasanya yang otoriter telah menghancurkan benih, menyebabkan kegersangan intelektual dan kecacatan moral. 

Contoh pertama yang dikasih Syekh al-Ghazali adalah dalam masalah akidah, sesuatu yang paling penting dalam agama. Akidah dalam ajaran agama Islam, menurut Syekh, akan tumbuh di tengah kebebasan mengkaji, merenung, dan mencari bukti yang jelas dan gamblang. Itu yang dilakukan al-Quran terhadap orang-orang musyrik, misalnya. Tidak boleh ada penelantaran akal atau penolakan terhadap pendapat orang lain. Harus ada dialog dan saling mengkaji dalil orang lain demi kebenaran (al-Ghazali, h. 3-6).


Daftar Pustaka

Shadr al-Din Muhammad al-Syirazi Mulla Shadra, Mafatih al-Ghayb, Ed. Najafqali Habibi, Teheran: Bunyad Hikmat Islami, 1386 HS, jilid 1.

Muhammad al-Ghazali, al-Fasad al-Siyasi fi al-Mujtama’at al-‘Arabiyah wa al-Islamiyah (Azmah asy-Syura), Kairo: Nahdhah Mishr, Cet. I, 2005.

Murtada Mutahhari, al-Nubuwwah, terj. Jawwad 'Ali Kassar, Mu'assasah Umm al-Qura dan Dar al-Hawra'.


Posting Komentar untuk "URGENSI MEMAHAMI AL-QUR’AN BAGI KONSELOR"