Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan (BEM FTIK) Universitas Cendekia Abditama, Hizazil Fikri Mujaki, menyampaikan keprihatinannya terkait kebijakan efisiensi anggaran pendidikan dalam pelaksanaan APBN dan APBD Tahun Anggaran 2025. Menurutnya, kebijakan ini berpotensi merugikan sektor pendidikan yang seharusnya menjadi prioritas utama bagi kemajuan bangsa dan negara.
Presiden Mahasiswa (Presma) Hizaz menegaskan bahwa pemotongan anggaran pendidikan merujuk pada Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2025 tentang Efisiensi Belanja dalam Pelaksanaan APBN dan APBD Tahun Anggaran 2025, yang dikeluarkan pada 24 Januari 2025. Dampak kebijakan ini dirasakan langsung oleh Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemendiktisaintek), yang mengalami pemotongan anggaran sebesar Rp22,5 triliun dari pagu awal Rp57,6 triliun. Sementara itu, Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) juga terdampak dengan pemotongan anggaran dari Rp33,5 triliun menjadi Rp26,2 triliun.
"Pemotongan ini sangat ironis. Padahal, pendidikan adalah pilar utama dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Kebijakan ini justru mengancam keberlangsungan sektor pendidikan," ujar Hizazil.
Hizazil menilai kebijakan efisiensi ini bertentangan dengan mandat konstitusi. Pasal 31 UUD 1945 Amandemen IV mewajibkan pemerintah mengalokasikan minimal 20% dari APBN dan APBD untuk pendidikan. Selain itu, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) juga menegaskan kewajiban serupa. Dengan adanya pemotongan ini, pemerintah dinilai tidak menjalankan amanat konstitusi.
"Pemerintah seakan mengkhianati mandat konstitusi. Padahal, tanpa pemotongan pun, kondisi pendidikan di Indonesia masih jauh dari kata layak, bahkan bisa dikatakan tertinggal," tambahnya.
Hizazil menyoroti bahwa dampak langsung dari kebijakan ini akan dirasakan oleh perguruan tinggi. Anggaran pendidikan tinggi yang dipangkas hingga 50% berpotensi menaikkan biaya pendidikan. Mahasiswa diprediksi akan kesulitan membayar Uang Kuliah Tunggal (UKT) karena kenaikan biaya yang tidak sebanding dengan kemampuan ekonomi mereka. Selain itu, program Kartu Indonesia Pintar Kuliah (KIPK) juga terancam akibat pemotongan anggaran.
"Mahasiswa akan terbebani. Banyak yang mungkin terpaksa berhenti kuliah karena tidak mampu membayar biaya pendidikan. Ini jelas mengancam masa depan generasi bangsa," tegas Hizazil.
Lebih lanjut, ia mengingatkan bahwa pemotongan anggaran pendidikan tidak hanya berdampak pada akses pendidikan, tetapi juga pada kualitas sumber daya manusia (SDM) Indonesia. Pendidikan yang terhambat akan memengaruhi produktivitas dan pertumbuhan ekonomi nasional dalam jangka panjang.
"Jika pendidikan tidak diperhatikan, bagaimana kita bisa bersaing di tingkat global? Kualitas SDM kita akan semakin tertinggal. Pendidikan yang semakin merosot akan mengancam hak-hak generasi bangsa dalam dunia pendidikan," katanya.
Selain itu, fasilitas kampus juga diprediksi akan semakin terbatas. Hal ini akan memperburuk kualitas pembelajaran dan penelitian di perguruan tinggi.
Hizazil mengajak seluruh elemen masyarakat, terutama mahasiswa dan akademisi, untuk bersatu dalam memperjuangkan nasib pendidikan di Indonesia. Menurutnya, kebijakan ini tidak boleh dibiarkan begitu saja karena akan berdampak luas pada masa depan bangsa.
"Kita harus menyampaikan keresahan ini. Pendidikan adalah hak dasar setiap warga negara. Pemerintah harus kembali memprioritaskan pendidikan," ujarnya. Ia juga mendesak pemerintah untuk mengevaluasi kebijakan efisiensi anggaran, khususnya di sektor pendidikan.
Hizazil menegaskan bahwa pendidikan dan kesehatan seharusnya menjadi prioritas utama dalam pembangunan nasional, bukan justru dikorbankan demi efisiensi anggaran.
"Kita tidak bisa membangun bangsa tanpa pendidikan yang berkualitas. Para pemangku kebijakan harus segera bertindak sebelum terlambat," pungkasnya.
Kebijakan efisiensi anggaran pendidikan dalam APBN dan APBD 2025 menjadi sorotan dari berbagai kalangan. Dampaknya tidak hanya dirasakan oleh mahasiswa dan perguruan tinggi, tetapi juga oleh seluruh masyarakat Indonesia. Jika tidak segera ditangani, kebijakan ini berpotensi memperburuk kualitas pendidikan dan menghambat pembangunan SDM Indonesia di masa depan.
Pemerintah diharapkan dapat mengevaluasi kembali kebijakan ini dan memastikan bahwa pendidikan tetap menjadi prioritas utama dalam pembangunan bangsa. Tanpa komitmen yang kuat terhadap pendidikan, Indonesia akan sulit mencapai visi menjadi negara maju dan berkembang secara global.
Posting Komentar untuk "Presma FTIK UCA Tanggapi Efisiensi Anggaran Pendidikan"