Mentari pagi bersinar cerah. Hari ini, saya mencoba memulai kembali aktivitas berolahraga ringan. Ya, sekadar jalan santai. Langkah kaki saya ayunkan keluar dari rumah, berjalan kaki menuju jalan baru. Namun, setelah sampai di jalan baru, hati saya seolah-olah menginginkan untuk pergi ke pemakaman umum di Cicalengka Pagedangan. Seakan-akan ada dorongan untuk berkunjung ke sana. Memang sudah lebih dari lima tahun saya tidak berziarah ke sana. Pernah melewati area tersebut, tetapi hanya sekadar lewat tanpa berhenti.
Langkah kaki saya melangkah dengan kecepatan sedang, tidak terlalu cepat dan tidak lambat. Santai saja. Dalam pikiran, saya berpikir, "Untuk apa terburu-buru? Tidak nyaman kalau terlalu lambat, tapi juga tidak ada yang saya kejar kalau terlalu cepat."
Setelah memasuki gerbang pemakaman, langkah saya terhenti tepat di depan sebuah makam yang sudah diberi atap dan tembok. Itu adalah makam KH. Abdurahman, seorang ulama yang berasal dari Kampung Lengkong Ulama. Setelah mengucapkan salam dan mendoakan almarhum, saya melangkah ke makam di sebelah kanan makam KH. Abdurahman, yaitu makam Ambu Humaeroh. Kemudian, saya berkeliling pemakaman. Hampir seluruh area makam saya kelilingi karena terdapat jalan konblok, kecuali bagian pinggir yang belum diberi konblok. Saya hanya berjalan santai sambil menikmati suasana pemakaman dan berdoa untuk para ahli kubur.
Dalam hati, muncul sedikit niat untuk mencoba menulis tentang dua tokoh yang dimakamkan di tempat itu, yaitu KH. Abdurahman dan Ambu Humaeroh.
Dalam catatan sejarah Kampung Lengkong Ulama, memang tercatat ada seorang putra kelahiran kampung ini yang dimakamkan di kompleks makam Cicalengka Pagedangan, yaitu KH. Abdurahman. Adapun silsilah beliau adalah:
KH. Abdurahman bin Syekh Hasan (KH. Hasan) bin Syekh Qasim (KH. Qasim) bin Syekh Abi Darda bin Syekh Abi Khaeruddin.
KH. Abdurahman adalah adik dari KH. Moh Rais dan kakak dari KH. Mukhtar (Syekh Mukhtar/Ki Utang). KH. Moh Rais dan istrinya, Nyi Murtafiah, adalah dua ulama yang makamnya berada di Kalipasir, Kota Tangerang. Mereka belajar kepada Syekh Hasan—ayah dan mertua mereka—serta ulama-ulama lainnya di Kota Makkah. Sepulang dari Makkah, mereka lebih banyak berdakwah dan mengajarkan ilmu agama di Kalipasir dan Kota Tangerang. Nyi Murtafiah dikenal sebagai ulama perempuan pertama yang membangun pesantren di Tangerang. Dari tangan beliau, lahir banyak ulama perempuan di Tangerang.
Adik dari KH. Abdurahman, yaitu KH. Mukhtar, adalah tokoh dalam seni kaligrafi. Beliau mendidik banyak murid yang menjadi kaligrafer ternama di tingkat nasional bahkan internasional. Salah satu murid beliau, KH. Abdurrazak bin KH. Muhili, menjadi pencetus MTQ Nasional untuk cabang kaligrafi. Beliau yang mengusulkan agar seni kaligrafi dimasukkan dalam MTQ. Murid beliau lainnya, KH. Ma’mun Asnawi, memasukkan seni kaligrafi sebagai pelajaran di sekolah. Selain itu, Kyai Muhammad Sadeli, murid beliau yang lain, berhasil menulis Al-Qur’an. Mushaf Al-Qur’an terbitan Departemen Agama sebelum tahun 1990-an adalah hasil tulisan tangan Kyai Muhammad Sadeli.
Pada nisan KH. Abdurahman, tertulis bahwa beliau wafat tahun 1946. Ada cerita yang saya dengar dari cicit beliau, yaitu Syukron bin Ustad Ukon Tafiq Rahman bin KH. Basuni bin KH. Abdurahman. Menurutnya, ketika Kampung Lengkong Ulama diserang oleh Belanda pada tahun 1946, banyak penduduk mengungsi ke luar kampung. Namun, KH. Abdurahman memilih bertahan. Salah satu murid beliau yang berasal dari Pagedangan segera datang ke Lengkong setelah keadaan aman. Sayangnya, saat tiba di sana, sang murid menemukan gurunya telah wafat akibat serangan Belanda. Jenazah KH. Abdurahman kemudian dibawa ke Pagedangan dan dimakamkan di sana.
Dalam buku Ki Luluhur Rekam Jejak Sejarah Raden Aria Wangsakara, disebutkan bahwa KH. Abdurahman menikah dengan seorang santri bernama Nyi Suhaemi dari Kadaung. Dari pernikahan tersebut, mereka dikaruniai tujuh anak: Sayuti, Hikmah, KH. Basuni, Awanah, Satibi, Marjuki, dan Ismah.
Untuk sejarah Ambu Humaeroh sendiri, belum banyak data yang ditemukan. Awalnya, saya mendengar bahwa makam tersebut adalah makam Abu Humaeroh, sehingga saya menduga bahwa yang dimakamkan adalah seorang pria. Namun, setelah bertanya, ternyata yang dimakamkan di sana adalah Ambu Humaeroh, seorang wanita.
Melihat nisan Ambu Humaeroh, saya tidak menemukan tipe nisan Aceh, Demak-Troloyo, atau Bugis-Makassar. Nisan tersebut merupakan tipe lokal, sebagaimana dijelaskan oleh antropolog Ambary yang mengelompokkan nisan tua Nusantara menjadi empat tipe: (1) tipe Aceh, (2) tipe Demak-Troloyo, (3) tipe Bugis-Makassar, dan (4) tipe lokal.
Corak nisan Ambu Humaeroh serupa dengan nisan-nisan di sekitar makam Pagedangan, seperti di Kampung Lengkong Ulama, Makam Keramat Uyut Onang Pagerhaur, Makam Sangajati, dan Makam Mede Ciakar Girang. Tipe ini juga banyak ditemukan di wilayah Tangerang dan Bogor, misalnya di daerah Jasinga, tepatnya di kompleks Garisul.
Mungkin demikian sekelumit sejarah KH. Abdurahman dan Ambu Humaeroh. Ke depannya, perlu dilakukan penelitian lebih mendalam, terutama mengenai sejarah Ambu Humaeroh.
Ciakar Girang
Minggu, 26 Januari 2025
Lutfi
Posting Komentar untuk "SEJARAH KH. ABDURAHMAN DAN AMBU HUMAEROH"