WANGSAKRA.COM - TANGERANG. Senin (6/1/2025) – Ballroom Istana Nelayan Kebon Nanas menjadi ajang pertemuan para ulama dan tokoh se-Provinsi Banten dalam Silaturahmi Kebangsaan bertema “Transparansi dan Kontekstualisasi ‘Ihya Il Mawat’ dalam Pembangunan Mega Proyek untuk Mewujudkan Kemaslahatan Umat.” Acara ini menghadirkan KH Said Aqil Siradj sebagai keynote speaker, serta narasumber dari pengembang PIK 2, Forum Kebangsaan, dan Kemaslahatan Masyarakat (FKKM).
Hadir dalam acara tersebut para tokoh dari berbagai organisasi, termasuk Majelis Ulama Indonesia (MUI), Dewan Masjid Indonesia (DMI), Rabithah Ma’ahid Islamiyah (RMI), GMNU, UIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten, Rabithah Babad Banten, Jatman, Nahdlatul Ulama (NU), IKBAR WANGSA, Balai Adat Keariaan Tangerang dan lainnya. Diskusi berfokus pada pengembangan lahan terlantar untuk kepentingan masyarakat melalui konsep ihya il mawat, yang berarti menghidupkan tanah yang tidak produktif.
KH Said Aqil Siradj dalam pidatonya menekankan bahwa kebijakan pembangunan harus didasarkan pada kemaslahatan rakyat. Menurutnya, tanah yang tidak dimanfaatkan menjadi beban moral, sementara jika dikelola dengan baik, tanah tersebut bisa membawa manfaat besar seperti menyerap tenaga kerja, membangun rumah ibadah, fasilitas umum, dan layanan sosial lainnya. Ia juga mengajak pihak-pihak yang dirugikan oleh proyek untuk berdialog secara logis dan damai, tanpa menggunakan kekerasan.
Pengembang PIK 2 memaparkan rencana besar mereka di atas lahan seluas 1.602 hektar yang mencakup lima zona utama. Proyek tersebut mencakup pembangunan Masjid Agung seluas 4,2 hektar, taman religi, wisata air, taman safari, hingga sirkuit internasional. Sebagian besar lahan yang sebelumnya berupa tambak dan mangrove akan direvitalisasi untuk mendukung tujuan ekologis dan ekonomi.
Namun, sejumlah kritik dan masukan juga mengemuka dalam diskusi. Tubagus Nurfadil, Ketua Rabithah Babad Banten, menyoroti pentingnya pelestarian budaya lokal. Ia meminta agar pengembang menggunakan bahasa Indonesia yang sejajar dengan bahasa asing di papan nama serta mengangkat identitas lokal seperti tokoh dan budaya Banten.
Aktivis Pantura, Sugandi Itra, menyoroti masalah relokasi warga yang terdampak proyek. Ia meminta agar pengembang memberikan kepastian hukum atas tanah relokasi dan menyingkirkan praktik percaloan yang masih merugikan masyarakat. Sugandi juga menyoroti penurunan nilai jual objek pajak (NJOP) yang dianggap tidak menguntungkan bagi warga sekitar.
Ketua Balai Adat Keariaan Tangerang, H. Ali Taba, menekankan perlunya keterlibatan komunitas lokal dalam proses pembangunan. Ia berharap pengembang mengadopsi nama-nama klaster yang mencerminkan kekayaan budaya Indonesia. Sementara itu, KH Thobari Syadzili dari Jatman Banten menegaskan bahwa proyek besar seperti PIK 2 harus memberikan manfaat nyata bagi umat tanpa mendzolimi masyarakat.
Dalam wawancara dengan Sekretaris Ikatan Keluarga Besar Raden Aria Wangsakara, Lutfi Abdul Gani menambahkan pentingnya membentuk forum komunikasi reguler antara pemerintah, pengembang, dan masyarakat. Ia menilai forum ini dapat menjadi sarana transparansi dan integrasi kebutuhan semua pihak, sehingga pembangunan proyek tidak hanya menghasilkan manfaat ekonomi tetapi juga sosial dan lingkungan.
Acara ini menjadi momentum penting untuk memperkuat sinergi antara semua pihak, memastikan mega proyek seperti PIK 2 membawa dampak positif yang seimbang dan berkelanjutan bagi masyarakat Banten.
Posting Komentar untuk "Mega Proyek PIK 2 dan Kemaslahatan Umat: Sorotan dari Silaturahmi Kebangsaan Banten"